Kami memohon donasi dengan suka rela untuk mendukung situs ini, agar situs anda -islamqa.info – berkelanjutan dalam melayani Islam dan umat Islam insyaallah
Kita melihat bahwa Isa disebutkan dalam Al-Qur’an lebih banyak daripada Muhammad, dan kita melihat bahwa Isa dapat menghidupkan orang mati, sementara Muhammad tidak bisa. Kita melihat bahwa dia dilahirkan melalui kelahiran yang ajaib, tetapi Muhammad melalui kelahiran alami. Bukankah Isa lebih baik dari Muhammad, dan lebih baik dari sekadar nabi dan rasul ?
Alhamdulillah.
Isa putra Maryam adalah Nabi utusan Allah dan kalimat-Nya termasuk rasul paling mulia kedudukannya di sisi Allah dan paling agung derajatnya. Semoga Allah memberikan kesejahteraan dan keberkahan kepada beliau, begitu pula kepada saudaranya, yaitu Muhammad putra Abdullah.
Isa ‘Alaihis Salam adalah kalimat Allah dan ruh-Nya yang ditiupkannya kepada Maryam, perawan suci. Allah Azza wa Jalla menjadikannya
وَجِيْهًا فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِ وَمِنَ الْمُقَرَّبِيْنَ
آل عمران : 45
“…seorang terkemuka di dunia dan di akhirat serta termasuk orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).” (QS. Ali Imran : 45).
Jika Anda berada pada posisi ingin mengurangi kedudukan salah seorang nabi dan mengangkat posisi nabi Isa Alaihis Salam, maka kami -kaum Muslimin- dilarang untuk mengikuti jejak Anda dalam hal ini. Kami diperintahkan untuk beriman kepada seluruh nabi dan rasul serta meyakini keutaaam mereka semua, sebagaimana difirmankan oleh Allah Ta’ala,
قُولُوا آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ إِلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَمَا أُوتِيَ النَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
البقرة/136
“Katakanlah (wahai orang-orang yang beriman), ‘Kami beriman kepada Allah, pada apa yang diturunkan kepada kami, pada apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya‘qub dan keturunannya, pada apa yang diberikan kepada Musa dan Isa, serta pada apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan (hanya) kepada-Nya kami berserah diri.’” (QS. Al-Baqarah : 136).
Allah Azza wa Jalla berfirman,
آمَنَ الرَّسُولُ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مِنْ رَبِّهِ وَالْمُؤْمِنُونَ كُلٌّ آمَنَ بِاللَّهِ وَمَلَائِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْ رُسُلِهِ وَقَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا غُفْرَانَكَ رَبَّنَا وَإِلَيْكَ الْمَصِيرُ
البقرة/ 285
“Rasul (Muhammad) beriman pada apa (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang mukmin. Masing-masing beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab kitab-Nya, dan rasul-rasul-Nya. (Mereka berkata,) ‘Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.’ Mereka juga berkata, ‘Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami, wahai Tuhan kami. Hanya kepada-Mu tempat (kami) kembali.’” (QS. Al-Baqarah : 285).
Begitu pula firman Allah Azza wa Jalla,
قُلْ آمَنَّا بِاللَّهِ وَمَا أُنْزِلَ عَلَيْنَا وَمَا أُنْزِلَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَإِسْمَاعِيلَ وَإِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَالْأَسْبَاطِ وَمَا أُوتِيَ مُوسَى وَعِيسَى وَالنَّبِيُّونَ مِنْ رَبِّهِمْ لَا نُفَرِّقُ بَيْنَ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنَحْنُ لَهُ مُسْلِمُونَ
آل عمران/84.
“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Kami beriman kepada Allah dan pada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Ismail, Ishaq, Ya‘qub beserta anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa, serta para nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membeda-bedakan seorang pun di antara mereka dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.’” (QS. Ali Imran : 84).
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، قَالَ: جَاءَ رَجُلٌ مِنَ اليَهُودِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَدْ لُطِمَ وَجْهُهُ ، وَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ ، إِنَّ رَجُلًا مِنْ أَصْحَابِكَ مِنَ الأَنْصَارِ لَطَمَ فِي وَجْهِي ، قَالَ: ( ادْعُوهُ ) ، فَدَعَوْهُ ، قَالَ: ( لِمَ لَطَمْتَ وَجْهَه ؟ُ ) ، قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِنِّي مَرَرْتُ بِاليَهُودِ، فَسَمِعْتُهُ يَقُولُ: وَالَّذِي اصْطَفَى مُوسَى عَلَى البَشَرِ، فَقُلْتُ: وَعَلَى مُحَمَّدٍ ، وَأَخَذَتْنِي غَضْبَةٌ فَلَطَمْتُهُ ، قَالَ : ( لَا تُخَيِّرُونِي مِنْ بَيْنِ الأَنْبِيَاءِ، فَإِنَّ النَّاسَ يَصْعَقُونَ يَوْمَ القِيَامَةِ ، فَأَكُونُ أَوَّلَ مَنْ يُفِيقُ ، فَإِذَا أَنَا بِمُوسَى آخِذٌ بِقَائِمَةٍ مِنْ قَوَائِمِ العَرْش ِ، فَلَا أَدْرِي أَفَاقَ قَبْلِي أَمْ جُزِيَ بِصَعْقَةِ الطُّورِ رواه البخاري (4638) .
Diriwayatkan dari Abu Sa’id Al-Khudri Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Seseorang dari Yahudi datang menemui Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan wajah bekas dipukul, lalu ia berkata kepada beliau, ‘Hai Muhammad, aku telah dipukul oleh salah seorang dari sahabatmu dari golongan Anshar.’ Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pun berkata kepadanya, ‘Panggilkan dia!’ Mereka pun memanggilnya. Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, ‘Kenapa engkau pukul dia ?’ Ia menjawab, ‘Wahai Rasulullah, pada waktu itu aku melewati orang Yahudi, lalu aku mendengar dia berkata, ‘Demi Dzat yang telah memilih Musa dari semua manusia,’ maka aku katakan, ‘Apakah dari Muhammad juga ?’ hingga dia membuatku marah, maka aku memukulnya. Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Janganlah kalian melebihkan sebagian nabi dengan sebagian yang lain. Sesungguhnya pada Hari Kiamat manusia dalam keadaan pingsan, lalu aku adalah orang yang pertama kali mengangkat kepalanya dari tanah, namun aku mendapati Musa ‘Alaihis Salam telah berada di salah satu pilar ‘Arsy, aku tidak tahu apakah dia lebih duluan bangun dari pada aku atau dia sudah cukup dengan pingsannya ketika di bukit Thur.’” (HR. Al-Bukhari, no. 4638).
Imam Al-Maziri Rahimahullah (wafat tahun 536 H) mengatakan, “Beberapa syaikh saya pernah berkata, ‘Bisa jadi yang beliau (Nabi) maksud adalah janganlah membanding-bandingkan keutamaan para nabi Allah dengan cara yang akan mengakibatkan berkurangnya keutamaan sebagian dari mereka. Hadits tersebut muncul karena suatu alasan, yaitu orang Anshar yang menampar wajah orang Yahudi. Barangkali Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam khawatir bahwa tindakan ini akan dipahami sebagai pengurangan terhadap hak-hak Musa Alaihis Salam. Maka beliau melarang membanding-bandingkan keutamaan yang akan mengarah pada pengurangan terhadap beberapa hak.” (Al-Mu’lim bi Fawa’id Muslim, 3/233).
Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimahullah mengatakan, “Para ulama berkata, ‘Dalam larangan beliau (Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam) tentang membanding-bandingkan keutamaan para nabi, tidak lain adalah larangan beliau terhadap orang-orang yang mengucapkannya menurut pendapatnya saja, bukan larangan terhadap orang-orang yang mengucapkannya dengan dalil. Atau seseorang mengatakannya dengan cara yang mengarah pada pengurangan keutamaan pada diri orang yang dikatakannya. Atau hal itu mengarah pada permusuhan dan perpecahan. Atau yang dimaksud adalah janganlah kalian mengutamakan seseorang dengan semua jenis keutamaan, sehingga tidak menyisakan satu keutamaan pun pada diri seseorang yang lain. Misalnya, jika kita mengatakan bahwa imam lebih baik dari pada muadzin, tidak berarti keutamaan muadzin berkurang dalam mengumandangkan adzan.
Ada yang mengatakan bahwa larangan membanding-bandingkan keutamaan hanya berlaku pada masalah kenabian itu sendiri, sebagaimana firman Allah Ta’ala, “Kami tidak membeda-bedakan seorang pun dari rasul-rasul-Nya.” Beliau tidak melarang membanding-bandingkan keutaaan suatu entitas atas entitas yang lain.” (Fath Al-Bari, 6/446).
Oleh karenanya kami katakan kepada Anda, “Kami lebih berhak terhadap Isa ‘Alaihis Salam daripada Anda dan pemeluk agama Anda. Kami beriman kepadanya sebagai nabi dan rasul dari sisi Allah, beliau termasuk rasul Ulul Azmi dan memiliki kedudukan paling agung di sisi Tuhan semesta alam.
Kami tidak membeda-bedakan antara dirinya dengan saudara-saudaranya para rasul yang lain, terutama adalah pemimpin semua manusia dan penutup para rasul, yaitu Muhammad putra Abdullah, semoga Allah memberikan kesejahteraan dan keselamatan kepada mereka semua.
Tidak ragu lagi bahwasanya keimanan inilah yang membedakan antara Islam dengan semua agama lainnya. Seorang Muslim diperintahkan untuk mencintai semua nabi dan rasul, dibebani untuk mengikuti dan mencintai mereka, mengimani akidah mereka satu-satunya, yaitu akidah tauhid, mengikuti syariat yang menghapus syariat sebelumnya, yaitu syariat Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, penutup para nabi dan rasul dan rahmat Allah bagi semesta alam, yang tidak ada nabi lagi setelahnya.
Sementara orang yang beriman kepada sebagian nabi dan mengingkari sebagian nabi lainnya, mereka itulah yang seharusnya memeriksa penyebab yang mendorong mereka untuk beriman kepada sebagian nabi dan mengingkari sebagian nabi lainnya. Seandainya mereka memeriksa dengan jujur dan obyektif, niscaya mereka akan dapat mengungkap bahwasanya kelompok-kelompok yang mereka klaim adalah kelompok yang membebani diri dan ber-ilusi. Timbangan yang benar yang mendorong mereka untuk beriman kepada Musa atau Isa ‘Alaihimas Salam itu sendiri yang akan membawa mereka pada iman kepada Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan, “Bukti-bukti yang menunjukkan kebenaran Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih besar dan lebih banyak daripada yang bukti-bukti yang menunjukkan kebenaran Nabi Musa dan Nabi Isa. Mukjizat-mukjizat Nabi Muhammad lebih agung daripada mukjizat nabi lainnya. Kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Muhammad lebih mulia daripada kitab yang diturunkan kepada nabi lainnya. Syariat yang dibawanya merupakan syariat yang lebih sempurna daripada syariat nabi Musa dan Nabi Isa. Umat Nabi Muhammad lebih sempurna dalam semua keutamaan dari pada umat ini-umat itu.
Tidak ada di dalam Taurat dan Injil ilmu yang bermanfaat dan amal shalih, kecuali juga terdapat dalam Al-Qur’an, atau yang semisalnya, atau lebih baik darinya. Di dalam Al-Qur’an terdapat ilmu yang bermanfaat dan amal shalih yang tidak terdapat semisalnya di dalam Taurat dan Injil.
Tidak ada luka yang disarangkan oleh musuh-musuh para nabi, yang disarangkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, melainkan luka itu dapat diarahkan -bahkan lebih besar- kepada Musa dan Isa.” (Al-Jawab As-Shahih, 2/5).
Di sini kami akan memperingatkan saudara penanya pada sekumpulan catatan penting atas pertanyaan yang disampaikan. Kami berharap saudara penanya memperhatikannya dengan seksama.
Pertama.
Kelirulah orang yang mengklaim bahwa Isa Al-Masih ‘Alaihis Salam disebutkan dalam Al-Qur’an lebih banyak dari pada penyebutan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Yang menjadi acuan penyebutan bukanlah disebutkan dengan nama khusus saja, akan tetapi dengan Khitab (pesan). Setiap susunan kalimat (dalam Al-Qur’an) menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah Nabi Muhammad, berarti hal itu juga penyebutan terhadapnya.
Seandainya kita merenungkan Al-Qur’an Al-Karim dengan baik dari awal surat Al-Baqarah, di dalamnya disebutkan,
وَالَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ وَبِالْآخِرَةِ هُمْ يُوقِنُونَ
البقرة/4
“… dan mereka yang beriman pada (Al-Qur’an) yang diturunkan kepadamu (Nabi Muhammad) dan (kitab-kitab suci) yang telah diturunkan sebelum engkau dan mereka yakin akan adanya akhirat.” (QS. Al-Baqarah : 4).
Lalu melewati ayat-ayat Al-Qur’an tentang Tasyri’ yang ditujukan kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan kisah-kisah para nabi yang disebutkan untuk meneguhkan hati Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan hati umat sepeninggal beliau, pengingatan dan petuah kepada mereka, sebagaimana yang Allah firmankan,
وَكُلًّا نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنْبَاءِ الرُّسُلِ مَا نُثَبِّتُ بِهِ فُؤَادَكَ وَجَاءَكَ فِي هَذِهِ الْحَقُّ وَمَوْعِظَةٌ وَذِكْرَى لِلْمُؤْمِنِين
هود/ 120
“Semua kisah rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu (Nabi Muhammad), yaitu kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu. Di dalamnya telah diberikan kepadamu (segala) kebenaran, nasihat, dan peringatan bagi orang-orang mukmin.” (QS. Hud : 120).
Sampai akhir surah An-Nas yang mana Allah mengajak bicara Nabi Muhammad,
قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ
الناس/ 1 .
“Katakanlah (Nabi Muhammad), ‘Aku berlindung kepada Tuhan manusia.” (QS. An-Nas : 1).
Begitulah. Seandainya Anda mengulang-ulang membaca Al-Qur’an Al-Karim, pasti Anda akan mendapatkannya dalam pola seperti ini. Yaitu pola yang lebih penting dan lebih khusus daripada kita melihatnya hanya sekadar penyebutan nama Isa atau Muhammad saja.
Jika seandainya standar perbandingan keutamaan dalam Al-Qur’an Al-Karim dengan jumlah nama, tentunya setan atau Iblis lebih tinggi kedudukannya daripada para nabi, karena jumlah penyebutannya lebih dari beberapa kali. Dua nama ini disebutkan kurang lebih dari tujuh puluh kali melebihi jumlah penyebutan jumlah nama sebagian nabi dan rasul. Masalah perbandingan keutamaan tidak dapat dijadikan sandaran jumlah berapa kali disebutkan, akan tetapi dengan kedudukan penyebutan serta pola-pola pembicaraannya dalam Al-Qur’an, apakah disebutkan pujian dan penguatan atau dalam penyebutan celaan dan peringatan, dan ungkapan-ungkapan yang lebih penting untuk diperhatikan pada penyucian Al-Qur’an lainnya.
Kedua.
Menghidupkan orang mati bukanlah satu-satunya mukjizat khusus Nabi Isa ‘Alaihis Salam, akan tetapi juga nabi yang lain, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah tentang kisah Nabi Ibrahim ‘Alaihis Salam,
وَإِذْ قَالَ إِبْرَاهِيمُ رَبِّ أَرِنِي كَيْفَ تُحْيِ الْمَوْتَى قَالَ أَوَلَمْ تُؤْمِنْ قَالَ بَلَى وَلَكِنْ لِيَطْمَئِنَّ قَلْبِي قَالَ فَخُذْ أَرْبَعَةً مِنَ الطَّيْرِ فَصُرْهُنَّ إِلَيْكَ ثُمَّ اجْعَلْ عَلَى كُلِّ جَبَلٍ مِنْهُنَّ جُزْءًا ثُمَّ ادْعُهُنَّ يَأْتِينَكَ سَعْيًا وَاعْلَمْ أَنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
البقرة/ 260
“(Ingatlah) ketika Ibrahim berkata, ‘Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.’ Dia (Allah) berfirman, ‘Belum percayakah engkau?’ Dia (Ibrahim) menjawab, ‘Aku percaya, tetapi agar hatiku tenang.’ Dia (Allah) berfirman, ‘Kalau begitu, ambillah empat ekor burung, lalu dekatkanlah kepadamu (potong-potonglah). Kemudian, letakkanlah di atas setiap bukit satu bagian dari tiap-tiap burung. Selanjutnya, panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.’ Ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah : 260).
Menghidupkan yang mati menjadi karamah bagi para nabi sebagaimana Allah firmankan,
أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ خَرَجُوا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ أُلُوفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ اللَّهُ مُوتُوا ثُمَّ أَحْيَاهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَذُو فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُونَ
البقرة/ 243
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halamannya dalam jumlah ribuan karena takut mati ? Lalu, Allah berfirman kepada mereka, ‘Matilah kamu!’ Kemudian, Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah Pemberi karunia kepada manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS. Al-Baqarah : 243).
أَوْ كَالَّذِي مَرَّ عَلَى قَرْيَةٍ وَهِيَ خَاوِيَةٌ عَلَى عُرُوشِهَا قَالَ أَنَّى يُحْيِي هَذِهِ اللَّهُ بَعْدَ مَوْتِهَا فَأَمَاتَهُ اللَّهُ مِائَةَ عَامٍ ثُمَّ بَعَثَهُ قَالَ كَمْ لَبِثْتَ قَالَ لَبِثْتُ يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالَ بَلْ لَبِثْتَ مِائَةَ عَامٍ فَانْظُرْ إِلَى طَعَامِكَ وَشَرَابِكَ لَمْ يَتَسَنَّهْ وَانْظُرْ إِلَى حِمَارِكَ وَلِنَجْعَلَكَ آيَةً لِلنَّاسِ وَانْظُرْ إِلَى الْعِظَامِ كَيْفَ نُنْشِزُهَا ثُمَّ نَكْسُوهَا لَحْمًا فَلَمَّا تَبَيَّنَ لَهُ قَالَ أَعْلَمُ أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
البقرة/ 259 .
“Atau, seperti orang yang melewati suatu negeri yang (bangunan-bangunannya) telah roboh menutupi (reruntuhan) atap-atapnya. Dia berkata, ‘Bagaimana Allah menghidupkan kembali (negeri) ini setelah kehancurannya?’ Lalu, Allah mematikannya selama seratus tahun, kemudian membangkitkannya (kembali). Dia (Allah) bertanya, ‘Berapa lama engkau tinggal (di sini)?’ Dia menjawab, ‘Aku tinggal (di sini) sehari atau setengah hari.’ Allah berfirman, ‘Sebenarnya engkau telah tinggal selama seratus tahun. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum berubah, (tetapi) lihatlah keledaimu (yang telah menjadi tulang-belulang) dan Kami akan menjadikanmu sebagai tanda (kekuasaan Kami) bagi manusia. Lihatlah tulang-belulang (keledai itu), bagaimana Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging (sehingga hidup kembali).’ Maka, ketika telah nyata baginya, dia pun berkata, ‘Aku mengetahui bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.’” (QS. Al-Baqarah : 259).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah mengatakan, “Seperti diketahui bahwa Al-Masih sendiri tidak memiliki bukti kenabian seperti bukti kenabian Musa, apalagi kaum Hawariyyin. Bukti-bukti kenabian terbesar Al-Masih ‘Alaihis Salam adalah menghidupkan orang mati. Bukti kenabian ini dimiliki juga oleh para nabi lainnya seperti Nabi Ilyas dan nabi lainnya.
Ahli kitab dalam kitabnya disebutkan bahwa selain Al-Masih ada juga yang menghidupkan orang mati melalui tangannya. Di antara tanda-tanda kenabian Musa putra Imran adalah tongkat yang dapat berubah menjadi ular yang nyata dan menelan tali-tali dan tongkat para penyihir. Tidak hanya sekali Musa melemparkan tongkatnya kemudian menjadi ular, kemudian beliau memegangnya lalu berubah menjadi tongkat lagi. Allah Ta’ala menghidupkan orang mati dengan membangkitkannya dari kubur. Allah menghidupkan tidak hanya satu orang di dunia ini.
Adapun kayu berubah menjadi hewan kemudian menjadi kayu lagi, lagi dan lagi, serta menelan tali dan tongkat, tentu ini lebih ajaib daripada kehidupan orang yang mati.
Dan lagi Allah mengabarkan bahwa Dia menghidupkan orang yang sudah mati melalui tangan Musa dan para nabi Bani Israil lainnya lebih besar daripada Al-Masih menghidupkan orang mati dari kalangan mereka. Allah Ta’ala berfirman,
وَاِذْ قُلْتُمْ يٰمُوْسٰى لَنْ نُّؤْمِنَ لَكَ حَتّٰى نَرَى اللّٰهَ جَهْرَةً فَاَخَذَتْكُمُ الصّٰعِقَةُ وَاَنْتُمْ تَنْظُرُوْنَ ثُمَّ بَعَثْنٰكُمْ مِّنْۢ بَعْدِ مَوْتِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ
البقرة: 55 - 56
“(Ingatlah) ketika kamu berkata, ‘Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum melihat Allah dengan jelas.’ Maka, halilintar menyambarmu dan kamu menyaksikan(-nya). Kemudian, Kami membangkitkan kamu setelah kematianmu agar kamu bersyukur.” (QS. Al-Baqarah : 55-56).
Allah berfirman,
فَقُلْنَا اضْرِبُوْهُ بِبَعْضِهَاۗ كَذٰلِكَ يُحْيِ اللّٰهُ الْمَوْتٰى وَيُرِيْكُمْ اٰيٰتِهٖ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُوْنَ
[البقرة: 73]
“Lalu, Kami berfirman, ‘Pukullah (mayat) itu dengan bagian dari (sapi) itu!’ Demikianlah Allah menghidupkan (orang) yang telah mati, dan Dia memperlihatkan kepadamu tanda-tanda (kekuasaan-Nya) agar kamu mengerti.” (QS. Al-Baqarah : 73).
اَلَمْ تَرَ اِلَى الَّذِيْنَ خَرَجُوْا مِنْ دِيَارِهِمْ وَهُمْ اُلُوْفٌ حَذَرَ الْمَوْتِ فَقَالَ لَهُمُ اللّٰهُ مُوْتُوْا ۗ ثُمَّ اَحْيَاهُمْ
البقرة: 243
“Tidakkah kamu memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halamannya dalam jumlah ribuan karena takut mati? Lalu, Allah berfirman kepada mereka, ‘Matilah kamu!’ Kemudian, Allah menghidupkan mereka.” (QS. Al-Baqarah : 243).
Begitu pula Musa ‘Alaihis Salam mengeluarkan tangannya dalam keadaan bercahaya putih bukan karena cacat. Tanda-tanda kenabian ini lebih besar daripada menyembuhkan penyakit kusta yang dilakukan oleh Al-Masih ‘Alaihis Salam. Kusta adalah penyakit biasa, yang ajaib adalah menyembuhkannya. Sementara cahaya putih dari tangan tanpa adanya cacat karena penyakit kusta, kemudian mengembalikannya pada keadaan semula, di dalamnya terdapat dua keajaiban yang tidak ada duanya.
Begitu pula Allah membelah lautan untuk Musa sehingga Bani Israil dapat menyeberanginya, Firaun dan bala tentaranya tenggelam ke dalamnya. Hal ini merupakan perkara yang gemilang. Di dalamnya terdapat keagungan dari tanda kenabian ini dan juga Allah membinasakan musuh Musa, yang semisal dengannya tidak terdapat pada diri Al-Masih.
Allah memberikan makan kepada Bani Israil makanan Manna dan Salwa berkat Nabi Musa, meskipun Bani Israil amatlah banyak. Dengan Musa memukul batu, Allah memancarkan dua belas mata air yang mencukupi minum mereka setiap hari. Tanda-tanda ini lebih besar daripada ketika Allah menurunkan hidangan dari langit kepada Al-Masih ‘Alaihis Salam, mengubah air menjadi khamr dan semisalnya sebagaimana diceritakan.” (Al-Jawab As-Shahih Li Man Baddala Din Al-Masih, 17/4-19).
Yang lebih menarik dari semua ini adalah mukjizat ini juga terjadi pada Nabi kita Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dengan cara yang lebih tinggi dan lebih agung. Hal ini karena Al-Masih ‘Alaihis Salam menghidupkan kembali manusia mati dari kalangan manusia yang memiliki nyawa dengan izin Allah, sementara Nabi kita, Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam Allah menghidupkan untuknya beberapa benda mati yang tidak bernyawa sama sekali, sehingga hidup dan datang kepada beliau serta tunduk kepadanya. Tidak ragu lagi, tentu ini mukjizat yang lebih dahsyat.
عَنْ عُبَادَةَ بنٍ الصَّامِت رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ : سِرْنَا مَعَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى نَزَلْنَا وَادِيًا أَفْيَحَ ، فَذَهَبَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْضِي حَاجَتَهُ ، فَاتَّبَعْتُهُ بِإِدَاوَةٍ مِنْ مَاءٍ، فَنَظَرَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَرَ شَيْئًا يَسْتَتِرُ بِهِ ، فَإِذَا شَجَرَتَانِ بِشَاطِئِ الْوَادِي ، فَانْطَلَقَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى إِحْدَاهُمَا، فَأَخَذَ بِغُصْنٍ مِنْ أَغْصَانِهَا، فَقَالَ: ( انْقَادِي عَلَيَّ بِإِذْنِ اللهِ ) فَانْقَادَتْ مَعَهُ كَالْبَعِيرِ الْمَخْشُوشِ ، الَّذِي يُصَانِعُ قَائِدَهُ، حَتَّى أَتَى الشَّجَرَةَ الْأُخْرَى، فَأَخَذَ بِغُصْنٍ مِنْ أَغْصَانِهَا، فَقَالَ: ( انْقَادِي عَلَيَّ بِإِذْنِ اللهِ ) فَانْقَادَتْ مَعَهُ كَذَلِكَ، حَتَّى إِذَا كَانَ بِالْمَنْصَفِ مِمَّا بَيْنَهُمَا، لَأَمَ بَيْنَهُمَا - يَعْنِي جَمَعَهُمَا - فَقَالَ: ( الْتَئِمَا عَلَيَّ بِإِذْنِ اللهِ ) فَالْتَأَمَتَا رواه مسلم (3012) .
Diriwayatkan dari Ubadah bin As-Shamit Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Kami pernah berjalan bersama dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam hingga kami singgah di sebuah lembah yang luas. Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pergi untuk menuntaskan hajatnya. Aku pun mengikuti beliau dari belakang sambil membawa satu wadah berisi air. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melihat-lihat sekeliling, namun beliau tidak melihat sesuatu untuk dijadikan sebagai penutup. Tiba-tiba beliau melihat dua pohon yang berada di tepi lembah. Kemudian beliau pergi menuju salah satu pohon, dan mengambil salah satu dahan dari pohon tersebut, serta berkata, “Merunduklah untukku dengan izin Allah.’ dahan itu merunduk bersama beliau seperti unta yang tunduk kepada penunggangnya. Kemudian beliau menghampiri pohon yang lainya, lalu meraih salah satu dahannya dan berkata, ‘Merunduklah untukku, dengan izin Allah.’ Dahan itu pun juga merunduk. Setelah beliau berada di tengah-tengah keduanya, beliau menyatukan keduanya dan berkata, ‘Menyatulah untukku, dengan izin Allah.’ Keduanya pun menyatu.”
Al-Bukhari (no. 3579) meriwayatkan,
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بن مسعود رضي الله عنه قَالَ: كُنَّا نَعُدُّ الآيَاتِ بَرَكَة ً، وَأَنْتُمْ تَعُدُّونَهَا تَخْوِيفًا ، كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ ، فَقَلَّ المَاءُ، فَقَالَ: ( اطْلُبُوا فَضْلَةً مِنْ مَاءٍ ) فَجَاءُوا بِإِنَاءٍ فِيهِ مَاءٌ قَلِيلٌ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِي الإِنَاءِ ، ثُمَّ قَالَ : «حَيَّ عَلَى الطَّهُورِ المُبَارَكِ، وَالبَرَكَةُ مِنَ اللَّهِ ) فَلَقَدْ رَأَيْتُ المَاءَ يَنْبُعُ مِنْ بَيْنِ أَصَابِعِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، وَلَقَدْ كُنَّا نَسْمَعُ تَسْبِيحَ الطَّعَامِ وَهُوَ يُؤْكَلُ .
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu ‘Anhu, ia berkata, “Dulu kami menganggap ayat-ayat Allah sebagai berkah, sedangkan kalian menganggapnya sebagai hal yang menakutkan. Dulu kami pernah bersama dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam sebuah perjalanan, dan waktu itu kami kekurangan air. Beliau bersabda, ‘Carilah kelebihan air.’ Para sahabat datang dengan sebuah bejana yang berisi air, lalu memasukkan tangannya ke dalam bejana, lalu bersabda, ‘Kemarilah menuju air yang suci dan diberkahi, dan berkah itu berasal dari Allah.’ Sungguh aku melihat air memancar di antara jari-jari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Kami pernah mendengar tasbihnya makanan yang sedang dimakan.”
Al-Bukhari (no. 3584) juga meriwayatkan,
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا : أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَقُومُ يَوْمَ الجُمُعَةِ إِلَى شَجَرَةٍ أَوْ نَخْلَةٍ ، فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنَ الأَنْصَارِ، أَوْ رَجُلٌ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أَلاَ نَجْعَلُ لَكَ مِنْبَرًا ؟ قَالَ: ( إِنْ شِئْتُمْ ) ، فَجَعَلُوا لَهُ مِنْبَرًا، فَلَمَّا كَانَ يَوْمَ الجُمُعَةِ دُفِعَ إِلَى المِنْبَرِ، فَصَاحَتِ النَّخْلَةُ صِيَاحَ الصَّبِيِّ ، ثُمَّ نَزَلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضَمَّهُ إِلَيْه ِ، تَئِنُّ أَنِينَ الصَّبِيِّ الَّذِي يُسَكَّنُ ، قَالَ: كَانَتْ تَبْكِي عَلَى مَا كَانَتْ تَسْمَعُ مِنَ الذِّكْرِ عِنْدَهَا .
Dari Jabir bin Abdullah Radhiyallahu ‘Anhuma bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam berdiri pada sebuah pohon kurma pada hari Jumat. Kemudian salah seorang wanita atau pria Anshar berkata, “Wahai Rasulullah, bersediakah Anda kami buatkan mimbar ?” Beliau menjawab, “Silakan jika kalian mau.” Lalu mereka pun membuatkan mimbar untuknya. Ketika pada hari Jumat, beliau diarahkan pada mimbar. Pohon kurma pun berteriak seperti teriakan anak kecil. Kemudian Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam turun dari mimbar dan memeluknya. Pohon kurma itu merintih seperti rintihan anak kecil yang ditenangkan. Jabir bin Abdullah mengatakan, “Pohon kurma itu menangis ketika mendengarkan dzikir.”
Renungkanlah bagaimana pohon, makanan dan batang pohon itu hidup dan bergerak serta berbicara dengan izin Allah. Hal itu berkat beliau yang mulia dalam bentuk mukjizat.
Ketiga.
Di sini kami mengutip dialog penting yang disampaikan oleh Imam Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah Rahimahullah, di mana beliau berdiskusi dengan orang-orang yang menggunakan mukjizat menghidupkan orang mati dan kelahiran tanpa ayah sebagai bukti ketuhanan Al-Masih ‘Alaihis Salam. Beliau mengatakan,
“Dan jika kalian berkata, ‘Tak lain kami membuktikan bahwa dia itu tuhan karena dia tidak dilahirkan dari manusia. Dan jika dia diciptakan (makhluk), pasti dia dilahirkan dari manusia ?’ Jika kesimpulan ini benar, maka tentunya Adam adalah tuhannya Isa Al-Masih. Adam lebih layak menjadi tuhan daripada Al-Masih. Karena dia tidak mempunyai ibu dan ayah, sedangkan Isa Al-Masih masih mempunyai seorang ibu.
Dan Hawa juga, jadikan dia tuhan kelima, karena dia tidak mempunyai ibu, dan dia lebih menakjubkan dari penciptaan Al-Masih.
Allah Subhanahu wa Ta’ala memvariasikan penciptaan Adam dan anak keturunannya, untuk menunjukkan kekuasaan-Nya, dan bahwa Dia melakukan apa pun yang Dia kehendaki. Maka Dia menciptakan Adam bukan dari laki-laki dan bukan dari perempuan. Dia menciptakan istri Adam, yaitu Hawa, dari laki-laki dan bukan dari perempuan. Dia menciptakan hamba-Nya Al-Masih dari perempuan dan bukan dari laki-laki. Dia menciptakan manusia selebihnya dari laki-laki dan perempuan.
Jika kalian berkata, ‘Kami membuktikan bahwa Al-Masih itu tuhan karena dia dapat menghidupkan orang mati, dan tidak ada yang menghidupkan mereka, kecuali Allah.’ Maka jadikanlah Musa sebagai tuhan yang lain, karena dia membawa sesuatu yang tidak dibawa oleh Al-Masih, atau apapun yang mendekatinya, yaitu membuat kayu menjadi binatang yang besar, dan ini lebih hebat daripada mengembalikan kehidupan pada tubuh yang semula sudah ada (kehidupan) di dalamnya.
Jika kalian berkata, ‘Ini bukanlah menghidupkan orang mati,’ maka Nabi Ilyasa’ ini juga menghidupkan orang mati, dan mereka mengakui hal itu. Begitu pula Nabi Elia juga menghidupkan bayi, dengan izin Allah. Dan Musa, dengan izin Allah, juga menghidupkan kembali tujuh puluh orang kaumnya yang telah meninggal. Ada banyak hal seperti itu dalam kitab-kitab kalian tentang para nabi dan para Hawari. Apakah dengan begitu ada di antara mereka yang menjadi tuhan ?
Bahkan jika kalian menjadikannya tuhan, karena dia memberi makan ribuan orang dengan beberapa potong roti kecil, maka inilah Musa yang memberi makan bangsanya selama empat puluh tahun dengan Manna dan Salwa ! Inilah Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, putra Abdullah, dia memberi makan seluruh pasukannya dengan bekal yang sangat sedikit, sampai mereka kenyang dan dapat mengisi wadah-wadah mereka, dan dia memberi minum mereka semua dengan sedikit air yang tidak bisa menutupi tangan, sampai-sampai mereka dapat mengisi setiap kantong air pada pasukan, dan peristiwa ini diriwayatkan darinya secara mutawatir.
Dan jika kalian menjadikan Al-Masih sebagai tuhan karena dia menyembuhkan orang buta dan penderita kusta serta menghidupkan orang mati, tanda-tanda kenabian Musa dan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam lebih menakjubkan dari itu. Bahkan jika kalian menjadikannya tuhan karena dia mengklaim hal itu, hal ini tidak menutup kemungkinan masalahnya seperti yang kalian katakan tentang dirinya, atau dia hanya mengaku sebagai hamba yang fakir dan bahwa dia makhluk yang dibuat dan diciptakan.
Jika masalahnya seperti yang kalian klaim, maka ia adalah pengikut Al-Masih Dajjal, dan dia bukanlah seorang yang beriman dan tidak pula seorang yang jujur, apalagi seorang nabi yang mulia, dan balasannya adalah neraka Jahannam, tempat tujuan yang celaka, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah Ta’ala,
وَمَنْ يَّقُلْ مِنْهُمْ اِنِّي اِلٰهٌ مِّنْ دُوْنِهٖ فَذٰلِكَ نَجْزِيْهِ جَهَنَّمَ
“Siapa saja di antara mereka (malaikat) yang berkata, ‘Sesungguhnya aku adalah tuhan selain-Nya,’ maka (dia) itu Kami beri balasan dengan (neraka) Jahanam.’” (QS. Al-Anbiya’ : 29).
Dan setiap orang yang mengaku tuhan selain Allah adalah salah satu musuh terbesar Allah, seperti Firaun, Namrud, dan orang lain seperti mereka yang merupakan musuh Tuhan. Jadi kalian mengeluarkan Isa Al-Masih dari karamah, kenabian, dan kerasulan, dan menjadikannya musuh terbesar Allah, dan karena alasan ini, kalian adalah orang yang paling memusuhi Al-Masih dalam bentuk kekasih yang setia !
Salah satu kebohongan terbesar yang diketahui pada diri Al-Masih Dajjal adalah ia mengklaim sebagai tuhan. Maka Allah akan mengirim hamba dan utusan-Nya, yaitu Al-Masih (yang memberi petunjuk) putra Maryam, untuk melawannya dan membunuhnya, menampakkan kepada para manusia bahwa Dajjal seorang pembohong dan pemfitnah. Jika ia tuhan, ia tidak akan dibunuh, apalagi disalib, dipaku, dan diludahi wajahnya !
Dan jika Al-Masih menyatakan bahwa dia adalah hamba Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana disaksikan oleh seluruh Injil tentangnya, dan dibuktikan dengan akal dan fitrah, lalu kalian memberikan kesaksian tentang ketuhanannya -dan inilah kenyataannya-, maka kalian tidak memberikan bukti apa pun tentang ketuhanannya selain mengingkari pernyataannya. Dan kalian telah menyebutkan tentang dirinya dalam banyak tempat di kitab-kitab Injil bahwa dia menyatakan dirinya adalah hamba, makhluk yang diciptakan, anak dari manusia, dan dia tidak mengklaim apapun kecuali sebagai nabi dan rasul. Kalian mendustakan itu semua dan membenarkan orang-orang yang berdusta tentang Allah dan tentang dia !
Dan jika kalian berkata, ‘Kami menjadikannya tuhan karena dia menyebut dirinya sebagai Anak Allah di lebih dari satu tempat dalam kitab Injil, seperti ketika dia berkata, ‘Aku akan pergi menemui bapakku, dan aku bertanya kepada bapakku,’ dan semisalnya, sedangkan anak Allah adalah tuhan. Maka dikatakan, ‘Maka jadikanlah diri kalian semua sebagai tuhan. Karena dalam Injil di lebih dari satu tempat, dia menyebut dia bapaknya dan bapak mereka, seperti kata-katanya, ‘Aku pergi ke bapakku dan bapakmu,’ maka dikatakan, ‘Janganlah kamu menghubungkan silsilahmu dengan bapakmu yang di bumi, karena bapakmu hanyalah yang di surga saja.’
Hal ini banyak terdapat dalam kitab Injil, dan ini menunjukkan bahwa bapak menurut mereka adalah tuhan.
Dan jika Anda menjadikannya tuhan karena murid-muridnya menyatakan hal itu, dan mereka adalah manusia yang paling tahu tentang hal itu, berarti Injil-Injil kalian yang ada di tangan kalian telah berbohong kepada kalian, dan semuanya jelas, paling eksplisit, bahwa mereka tidak mengklaim Al-Masih, kecuali apa yang dia nyatakan sendiri bahwasanya dia adalah seorang hamba.
Matius mengatakan dalam Injilnya pasal sembilan, berdalil dengan nubuat Yesaya dari Allah Azza wa Jalla pada Al-Masih, ‘Inilah hamba-Ku yang telah kupilih dan kekasihku yang jiwaku tenteram padanya.’
Dan jika kalian berkata, ‘Kami jadikan dia tuhan karena dia naik ke langit,’ maka inilah Henokh dan Elias yang naik ke langit, dan mereka hidup terhormat, tidak tertusuk duri, tidak pula oleh orang tamak mana pun. Kaum Muslimin dengan suara bulat sepakat bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, naik ke langit ketika dia masih seorang hamba yang murni, dan para malaikat ini naik ke langit, dan ruh-ruh orang-orang beriman yang naik ke langit setelah meninggalkan tubuh mereka, dan dengan demikian mereka tidak meninggalkan penghambaan. Dan apakah naik ke langit mengeluarkan penghambaan !?
Dan jika kalian menjadikannya tuhan karena dia membuat dari tanah liat yang bentuknya seperti burung, lalu dia hembuskan ke dalamnya sehingga menjadi daging dan darah serta menjadi burung yang nyata, dan hanya tuhan yang dapat melakukan hal itu, maka dikatakan, ‘Jadikanlah Musa bin Imran sebagai tuhannya para tuhan, karena dia melemparkan sebuah tongkat dan tongkat itu menjadi seekor ular besar, kemudian dia memegangnya dengan tangannya dan tongkat itu menjadi tongkat seperti semula.’
Jika kalian berkata, ‘Kami jadikan dia tuhan berdasarkan sabda Nabi Yesaya, ‘Katakanlah kepada Sion agar ia bergembira dan bertahlil, karena Allah akan datang dan menyelamatkan bangsa-bangsa, dan akan menyelamatkan orang-orang yang beriman kepada-Nya, dan menyelamatkan kota Yerusalem (Baitul Maqdis), dan Allah akan memperlihatkan tangan suci-Nya di sana kepada semua bangsa yang tercerai-berai, dan menjadikan mereka satu bangsa, dan seluruh penduduk bumi akan melihat keselamatan dari Allah, karena dia berjalan bersama mereka, dan di depan mereka, dan tuhan Israil akan mengumpulkan mereka.’
Maka akan dikatakan pada kalian, ‘Hal ini perlu, pertama-tama, diketahui bahwa hal ini berada dalam nubuat Yesaya dengan redaksi seperti ini, tanpa penyelewengan lafaz atau kesalahan apa pun dalam terjemahannya. Dan Hal ini tidak diketahui. Jika hal ini terbukti, maka tidak ada bukti di dalamnya bahwa Al-Masih adalah tuhan yang sempurna, dan bahwa dia tidak diciptakan. Hal ini serupa dengan apa yang ada di dalam Taurat yang mengatakan, ‘Allah datang dari Thursina, bersinar dari Seir, dan diturunkan dari pegunungan Paran.’ Tidak ada satu pun di dalamnya yang menunjukkan bahwa Musa dan Muhammad adalah tuhan.
Yang dimaksud adalah datangnya agama, kitab, syariat, petunjuk, dan cahayanya.
Dan jika kalian berkata, ‘Kami menjadikannya tuhan, sesuai dengan perkataan Zakaria dalam nubuatnya, ‘Bersukacitalah, hai putri Sion, karena aku akan datang kepadamu dan tinggal di dalam kamu dan akan muncul, dan banyak bangsa akan beriman kepada Allah pada hari itu, dan mereka akan menjadi satu bangsa bagi-Nya, dan Dia akan tinggal di dalam mereka dan mereka akan mengetahui bahwa Akulah Tuhan Yang Mahakuat yang berdiam di dalam dirimu. Dan pada hari itu Tuhan akan mengambil kerajaan dari orang-orang Yahudi dan memerintah mereka selama-lamanya.’
Maka dikatakan kepada kalian, ‘Jika ketuhanan itu wajib baginya dalam hal ini, maka tentu wajib pula bagi Ibrahim dan nabi-nabi lainnya, karena menurut Ahli Kitab -dan kalian bersama mereka- Tuhan menampakkan diri kepada Ibrahim.
Adapun firman-Nya, ‘Dan Dia bersemayam di dalam dirimu,’ Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menghendaki bersemayamnya Dzat-Nya yang tidak dapat ditampung oleh langit dan bumi di Yerusalem. Bagaimana mungkin Dzat-Nya bersemayam di tempat di mana Dia akan tertindas dan dikalahkan oleh makhluk yang paling buruk ?
Bagaimana ketika Dia berkata, ‘Dan mereka akan mengetahui bahwa Akulah Allah yang Mahakuat yang berdiam di dalam dirimu !’ Menurutmu apakah mereka mengetahui kekuatannya dengan menangkapnya, mengikat tangannya dengan tali, mengikatnya pada kayu salib, menancapkan paku ke tangan dan kakinya, dan memasang mahkota duri di kepalanya, sementara dia berteriak minta tolong dan tidak ada yang menolong ? Al-Masih tidak akan memasuki Baitul Maqdis, kecuali ia dikalahkan, ditindas, dan diremehkan dalam sebagian besar keadaannya.
Intinya adalah bahwa nubuat-nubuat sebelumnya dan kitab-kitab ilahi tidak mengucapkan satu kata pun yang mengharuskan anak manusia menjadi tuhan yang utuh, tuhan yang benar, dan bahwa dia tidak dibuat dan tidak diciptakan. Sebaliknya, mereka tidak menyebutkannya secara khusus kecuali apa yang disebut secara khusus oleh saudaranya, dan manusia yang paling layak baginya adalah Muhammad bin Abdullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dalam sabdanya, ‘Dia adalah hamba Allah dan utusan-Nya, dan yang diciptakan dengan kalimat-Nya yang disampaikan-Nya kepada Maryam dan dengan tiupan ruh dari-Nya.’
Kitab-kitab para nabi sebelumnya, dan semua nubuat lainnya, sesuai dengan apa yang Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sampaikan kepada kita, dan semua itu saling menguatkan satu sama lain, dan semua yang disimpulkan oleh Trinitas, para penyembah salib, tentang ketuhanan Al-Masih, dari istilah-istilah dan kata-kata dalam kitab-kitab tersebut, adalah hal yang umum antara Al-Masih dan orang lain, seperti penyebutannya sebagai anak, kalimat, ruh kebenaran, dan tuhan.
Dan jika kalian mewajibkan ketuhanan kepada Al-Masih atas dasar pernyataannya dalam kitab ketiga Raja-raja, ‘Dan sekarang, ya Tuhan, Tuhan Israil, akan terkabullah firman-Mu kepada Daud, karena itu layak menjadi tanda. Tuhan akan tinggal bersama manusia di bumi. Dengarlah, hai segala bangsa, dan biarlah bumi dan semua yang ada di dalamnya mendengarkan, dan Tuhan akan menjadi saksi atas mereka, dan Dia akan keluar dari tempatnya dan turun serta menginjak bagian-bagian bumi yang meninggi mengenai dosa anak-anak Yakub.’ Maka akan dikatakan kepada kalian, ‘Buku ini, pertama-tama, perlu dibuktikan, dan bahwa yang mengatakannya adalah seorang nabi, dan ini adalah kata-katanya, dan terjemahannya identik dengannya, dan ini tidak diketahui.
Selanjutnya, pernyataan dalam perkataan ini adalah seperti perkataan semisal dengan apa yang kalian sebutkan dan apa yang tidak kalian sebutkan. Tidak ada satu pun dalam perkataan ini yang menunjukkan bahwa Al-Masih adalah pencipta langit dan bumi, seolah-olah dia adalah tuhan yang tidak dibuat atau diciptakan.
Dan perkataannya, “Tuhan akan tinggal bersama manusia di bumi,’ ibarat keberadaan-Nya bersama mereka. Dan jika cahaya, petunjuk, agama, dan nabi-Nya ada di bumi, di sinilah tempat tinggal-Nya, bukan Dia dengan Dzat suci-Nya turun dari singgasana-Nya dan berdiam bersama manusia di bumi. Jika kemustahilan diperkirakan akan terjadi, maka tidak perlu baginya untuk menjadi Al-Masih, sebagaimana para rasul dan nabi sebelum dan sesudahnya tinggal di bumi. Jadi, apa alasan Al-Masih menjadi tuhan, tetapi tidak dengan sesama saudaranya yang rasul ?
Apakah menurut kalian hal ini disebabkan oleh kekuasaan dan wewenang yang dimilikinya ketika ia berada di bumi, dan kalian mengatakan bahwa dia ditangkap dan apa yang dilakukan terhadapnya sangat menghina, melecehkan, dan menindas, dan ini adalah akibat dari keberadaannya di bumi bersama dengan ciptaannya ?
Jika kalian berkata, ‘Kediaman-Nya di bumi bersama dengan ciptaan-Nya, itulah penampakan-Nya dalam kemanusiaan Al-Masih.’ Maka dikatakan pada kalian, ‘Adapun penampakan yang mungkin dan masuk akal, yaitu penampakan cinta, ilmu, agama, dan perkataan-Nya, tidak ada perbedaan antara kemanusiaan Al-Masih dengan kemanusiaan para nabi dan rasul lainnya, dan tidak ada dalam kata-kata ini, dalam perkiraan seperti ini, yang menunjukkan kekhususannya pada kemanusiaan Al-Masih.
Adapun wujud mustahil yang ditolak oleh akal, fitrah, hukum syariat, dan segala nubuat, yaitu penampakan Dzat tuhan dalam kemanusiaan salah satu makhluk-Nya, dan penyatuan-Nya dengan makhluk-Nya serta percampuran-Nya dengan makhluk-Nya, adalah mustahil secara akal dan syariat, dan sama sekali tidak dapat diungkapkan dengan nubuat.
Sebaliknya, nubuat-nubuat dari awal sampai akhir sepakat pada prinsip-prinsip :
Pertama, Allah Subhanahu wa Ta’ala itu Qadim dan esa, tidak ada sekutu dalam kerajaan-Nya, tidak ada yang setara, tidak ada lawan, tidak ada menteri, tidak ada penasihat, tidak ada pendukung, dan tidak ada pemberi syafaat kecuali dengan izin-Nya.
Kedua, Dia tidak mempunyai bapak, tidak mempunyai anak laki-laki, tidak mempunyai sesuatu yang serupa dengan-Nya, tidak mempunyai sanak saudara sama sekali, dan tidak mempunyai istri.
Ketiga, Dia sendiri Maha cukup, sehingga dia tidak makan, minum, atau membutuhkan apa pun yang dibutuhkan ciptaan-Nya dalam hal apa pun.
Keempat, Dia tidak berubah, dan tidak terkena musibah seperti pikun, penyakit, kantuk, tidur, lupa, penyesalan, ketakutan, kekhawatiran, kesedihan, dan sejenisnya.
Kelima, Dia tidak serupa dengan makhluk-Nya yang mana pun. Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya, baik dalam Dzat-Nya maupun dalam sifat-sifat-Nya.
Keenam, Dia tidak bersemayam pada salah satu makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatu sedikitpun pada makhluk-Nya yang bersemayam pada Dzat-Nya. Sebaliknya, Dia terpisah dari ciptaan-Nya karena Dzat-Nya, dan ciptaan pun terpisah dari-Nya.
Ketujuh, Dia lebih agung dari segala sesuatu, lebih besar dari segala sesuatu, di atas segala sesuatu, berkuasa atas segala sesuatu, dan tidak ada sesuatu pun yang lebih tinggi dari Dia sama sekali.
Kedelapan, Dia berkuasa atas segala sesuatu, maka tidak ada sesuatu pun yang Dia inginkan yang tidak mampu dilakukan-Nya. Sebaliknya, Dia mampu melakukan apa yang Dia inginkan.
Kesembilan, Dia Maha Mengetahu segala sesuatu. Dia mengetahui apa yang rahasia dan apa yang tersembunyi. Dan Dia mengetahui apa yang sudah terjadi dan apa yang akan terjadi, apa yang tidak terjadi, bagaimana jadinya. Tidak ada sehelai daun pun yang gugur tanpa Dia ketahui, dan tidak ada sebutir biji pun di dalam kegelapan bumi, tidak ada sesuatu yang basah atau kering, atau sesuatu yang diam atau bergerak, melainkan Dia mengetahui hakikatnya.
Kesepuluh, Dia Maha Mendengar dan Maha Melihat. Dia mendengar suara-suara dalam berbagai bahasa, meskipun kebutuhannya rumit, dan melihat semut hitam merayap di atas batu di malam yang gelap-gulita. Pendengaran-Nya meliputi segala sesuatu yang didengar, dan penglihatan-Nya meliputi segala sesuatu yang terlihat, dan ilmu-Nya meliptui segala pengetahuan, kekuasaan-Nya meliputi segala sesuatu kekuasaan, dan kehendak-Nya terlaksana pada segala ciptaan, dan rahmat-Nya meliputi seluruh makhluk, dan Arsy-Nya meliputi bumi dan langit.
Kesebelas, Dialah saksi yang tidak menghilang, tidak menunjuk siapa pun sebagai penerus untuk mengurus kerajaannya, dan tidak memerlukan siapa pun untuk melimpahkan keperluan hamba-hamba-Nya kepada-Nya, atau menolong-Nya, atau mencari simpati dari mereka, atau meminta belas kasihan kepada mereka.
Keduabelas, Dialah yang kekal dan abadi, yang tidak layu, tidak musnah, tidak sirna, dan tidak mati.
Ketigabelas, Dialah yang berbicara dan mengajak bicara, yang memerintah dan melarang, yang mengucapkan kebenaran, yang menunjukkan jalan, yang mengutus para rasul, yang menurunkan kitab-kitab, yang mengurus setiap jiwa atas kebaikan dan keburukan yang dilakukan, yang memberikan balasan kebaikan kepada manusia yang berbuat baik dan keburukan kepada manusia yang berbuat buruk.
Keempatbelas, Dia jujur terhadap janji-Nya dan keterangan-Nya. Maka tidak ada yang lebih jujur perkataan-Nya, dan Dia tidak mengingkari janji-Nya.
Kelimabelas, Dia Maha Tinggi, tempat meminta segala sesuatu atas segala macam permintaan. Maka mustahil ada sesuatu yang bertentangan dengan sifat-Nya yaitu sebagai tempat permintaan segala sesuatu.
Keenambelas, Dia Maha Suci dan Damai, karena Dia terbebas dari segala cacat, kekurangan, dan musibah.
Ketujuhbelas, Dialah Yang Maha Sempurna yang mempunyai kesempurnaan mutlak dalam segala aspek.
Kedelapanbelas, Dialah yang Mahaadil, tidak menindas, tidak menzalimi, dan hamba-hambanya tidak takut akan dizalimi-Nya.
Ini adalah sesuatu yang disepakati oleh semua kitab dan rasul, dan ini termasuk salah satu hal yang menentukan bahwa tidak boleh ada undang-undang (syariat) yang bertentangan dengannya, dan tidak ada nabi yang memberitakan selain itu, sama sekali.
Jadi para penyembah salib meninggalkan semua ini, dan berpegang pada makna yang sama, kata-kata umum, dan perkataan orang-orang yang tersesat sebelumnya, dan menyesatkan banyak orang dan tersesat dari jalan yang lurus.
Asal-usul Trinitas dan pernyataan mereka tentang Tuhan semesta alam sangat bertolak belakang dengan semua ini, dan perbedaannya sangatlah besar.”
(Hidayat Al-Hiyari fi Ajwibati Al-Yahudi wa An-Nashara, hal. 498-526).
Untuk tambahan penjelasan, silakan lihat jawaban dari pertanyaan nomor 10277, 126168, 12096 dan 89814.
Wallahu A’lam.