Alhamdulillah.
Dari Hakim bin Mu’awiyah Al-Qusyairi, dari ayahnya, ia berkata:
قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ! مَا حَقُّ زَوْجَةِ أَحَدِنَا عَلَيْهِ ؟ قَالَ : أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ ، وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ ، أَوْ اكْتَسَبْتَ ، وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ ، وَلَا تُقَبِّحْ ، وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ رواه أبو داود (2142) وقال : ( ولا تُقَبِّحْ ): أن تقول : " قبحك الله
“Aku katakan; wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang diantara kami atasnya? Beliau berkata: "Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah." HR. Abu Daud (2142), dan berkata: ““Dan janganlah kamu menghinanya” maksudnya ialah kamu mengucapkan: “Semoga Allah menjadikan kamu jelek”.
Hadis ini menunjukkan bahwa nafkah adalah hak wajib diantara hak-hak istri, dan bahwa nafkah wajib di sini adalah memastikan kecukupan makanan, minuman, dan pakaian untuk istri, jika hal ini sudah terpenuhi maka yang lebih dari pada itu bukan merupakan kewajiban, jika demikian halnya maka suami tidak harus membelikan pakaian untuk istrinya setiap kali dia membeli pakaian untuk dirinya sendiri, dan tidak pula harus memberikan uang sebagai gantinya.
Batasan yang ada dalam Hadis (hendaklah engkau memberi isteri makan, jikalau engkau makan), yang dimaksud di sini adalah perintah memberi nafkah kepada istrinya sebagaimana ia menafkahi dirinya sendiri, dan bukan berarti bahwa setiap kali suami membeli sesuatu untuk dirinya maka dia harus membelikan sesuatu yang sama untuk istrinya.
Syekh Ibnu Utsaimin rahmatullah berkata; artinya: janganlah kamu mengutamakan pakaian untuk dirimu dan mengabaikannya, makanan untuk dirimu dan mengabaikannya, padahal dia adalah pasangan hidupmu, kamu wajib menafkahinya sebagaimana kamu menafkahi dirimu sendiri, sampai-sampai mayoritas ulama mengatakan: “apabila seorang suami tidak menafkahi istrinya, dan ia (istri) meminta hakim untuk membatalkan pernikahannya, maka hendaknya hakim mengabulkannya, karena suami telah mengabaikan hak-hak istri yang menjadi kewajibannya” akhir kutipan dari “syarh riyadhus shalihin” (3/131).
Wallahu a’lam.